Searching...



RUAR BIASAAA…!!! BERPERKARA DI NEGERI INI,
BISA TURUN TEMURUN SAMPAI KE ANAK CUCU…

Kuningan (28/11). Seperti dalam perkara yang sedang dijalani oleh Sdr. Dadang,  lihat di; tagoni.blogspot.com (judul tulisan; BENARKAH NEGARA MELINDUNGI DAN MENJAMIN HAK-HAK WARGANYA…?).
 Sejak tahun 1986, atas tanah hak Orang tua Sdr. Dadang di gugat, dan pada tahun 2001 Orang tua Sdr. Dadang meninggal dunia, akan tetapi sengketa perdata tersebut tidak terhenti dan diteruskan oleh anak-anaknya.  Sampai dengan dtahun 2007 Sdr. Dadang Dkk dimengangkan dengan putusan PK Nomor: 12/Pdt.G/1986/PN.KNG Jo. 818 /PK/Pdt.2001. Dan Sdr. Dadang baru mendapat Copy putusan PK-nya pada tanggal 15 Juli 2010. (3 Tahun setelah putusan).

Namun demikian, meskipun telah gagal melalui upaya hukum, para penggugat / pemohon PK dengan arogannya memaksakan kehendak dengan menguasai tanah Sdr. Dadang Dkk  secara pisik,  dan bahkan telah dijualnya  kepada pihak lain (Sdr. SARJU), padahal jelas-jelas  mendasarkan kepada putusan PK atas  tanah hak Sdr. Dadang Dkk tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Tahun 2010. Sdr. Dadang Dkk mengadukan  perbuatan pidananya ke Polres Kabupaten Kuningan, dan sampai sekarang Tahun 2013,  yang berarti  sudah 27 tahun atas sengketa tanah tersebut belum ada gambaran kapan akan selesainya.

Belum lagi jika Sdr. SARJU (pembeli tanah yang dipersengketakan) mengajukan gugatan lagi kepada para pihak terkait. Terlepas dari sah atau tidaknya transaksi jual beli tersebut, akan tetapi tentu Sdr, SARJU tidak akan menerima  begitu saja jika uangnya harus hilang.…bukankan sesuai azas hukum; “…bahwa sesorang tidak bisa dianggap bersalah, kecuali atas putusan Pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap..”
 Ini benar-benar ruar biasaa...!!! berperkara di Negeri ini bisa turun temurun sampai ke anak cucu…

Seperti halnya juga dengan kasus RUKO ANCARAN yang sedang Saya jalani saat ini, nampaknya tidak akan jauh beda dengan kasus yang dihadapi oleh Sdr. Dadang Dkk.  Sungguh menghadapi proses hukum seperti ini kita sepertinya  dihadapkan pada buah simalakama, dimakan Bapak mati, tidak dimakan Ibu mati…

Mendasarkan pada akta notaris yang tidak terbantahkan keabsahannya, bahwa areal komplek ruko Ancaran di Kabupaten Kuningan Jawa barat, sampai dengan  tahun 2026 adalah merupakan hak pengelolaan Saya. Kemudian diatas areal yang menjadi hak Saya tersebut terjadi perbuatan pidana pembongkaran kolom/slup-slup beton dengan tanpa hak, yang dilakukan oleh Kuwu Desa Ancaran Dkk, yang hasil pembongkarannya dijual oleh Kumu Desa Ancaran, sehingga unsur-unsur pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 363 KUHP (pencurian dengan pemberatan) sudah sangat terpenuhi, kemudian dengan tanpa hak penitia pembangunan ruko Ancaran memindah tangankan atas hak pengolaan ruko,  dan depeloper pertokoan melakukan tindak pidana penyerobotan, dengan membangun pertokoan diareal komplek ruko Ancaran yang menjadi hak pengelolaan Saya.  

Atas perbuatan pidana sebagaimana tersebut diatas, saya adukan di Polres Kabupaten Kuningan dengan No. Pol: LP/B.437/IX/2011/JBR/RES.KNG,  Tertanggal 22 September 2011. namun terhadap kasus yang sebetulnya sangat sederhana,  sangat jelas fakta hukumnya, dan sangat jelas pula perbuatan pidana yang mereka lakukan, ternyata tidak ada kejelasan dalam proses hukumnya. Proses hukum baru berjalan setelah adanya surat dari Dirjen HAM-RI, yang inti surartnya; “…apabila atas pengaduan Saya terdapat kebenaran obyektif, maka kiranya agar dapat ditindak lanjuti sesuai dengan hukum yang berlaku…”
Namun yang terjerat hukum hanya Kuwu Desa Ancaran saja, dan itupun hanya dengan pasal pengrusakan saja, padahal KUHP sangat jelas mengatur; “…terhadap perbuatan pidana yang bisa dijerat dengan beberapa pasal, maka yang harus diterapkan adalah pasal yang ancaman hukuman maksimumnya terberat…”
Sementara panitia pembangunan ruko/pasar Desa Ancaran dan apalagi depelopernya sama sekali tidak dapat tersentuh oleh hukum. Ini barangkali yang disebut “ hukum jaring laba-laba “, yang hanya dapat menjerat sebangsa serangga saja. Padahal Saya yakin, apabila proses hukum dilaksanakan sebagaimana mestinya, maka dalam kasus ruko Ancaran ini akan banyak pihak yang bisa digiring ke hotel pordeo.

Ketika atas perkara pidananya dalam kasus ruko Ancaran ini dilimpahkan ke Pengadilan, mereka (panitia pembangunan ruko/pasar Desa Ancaran) melalui team pengacaranya menggugat Saya, dan mendasarkan pada gugatan tersebut mereka mengajukan permohonan putusan sela atas kasus pidananya, yang permohonannya dikabulkan oleh majelis hakim, dengan pertimbangan; “ bahwa yang menjadi dasar dakwaan jaksa penuntut umum, adalah sama dengan yang menjadi dasar gugatan, sehingga perbuatan terdakwa oleh majelis hakim dianggap masuk kedalam ranah/ruang lingkup hukum perdata, sehingga harus diselesaikan secara perdata…”
Dapatkah kita membayangkan, betapa akan semakin amburadulnya tatanan hukum di Negeri ini, jika atas putusan sela tersebut dijadikan sebagai yuris prudensi? Karena dengan putusan sela tersebut berarti majelis hakim mengabaikan azas praduga tidak bersalah, tidak menghormati hak-hak indipidu serta membenarkan tindakan main hakim sendiri…sehingga yang pasti, dengan putusan sela tersebut akan menimbulkan ketidak pastian hukum.

Sampai sekarang atas kasus ruko Ancara ini sudah dua tahun lebih, masih dalam proses di Pengadilan Negeri Kabupaten Kuningan, Saya tidak dapat membayangkan, entah sampai kapan kasus ini akan selesai, karena dengan tidak diproses atas perbuatan pidananya yang terjadi  dikomplek ruko ancaran, hal tersebut menjadikan tanda Tanya, ada apakah dengan semua ini? Bukankah di Negara yang mengaku sebagai negara hukum, seharusnya tidak boleh  terjadi ada perbuatan pidana yang sampai tidak bisa dipidana ?  Bahkan  dalam hukum acara perdata sebagaimana yang diatur dalam HIR; “ apabila dalam perkara perdata ditemukan surat yang diduga dipalsukan, maka majelis hakim harus menghentikan sidang perdatanya dan memerintahkan untuk diperiksa pidanya…”. Hal tersebut tentu dimaksudkan agar proses hukum dapat  dilaksanakan  sesuai dengan azas; sederhana, cepat dan biaya ringan…. Jangan malah sebaliknya…

Seperti  yang sering saya katakana; “…mafia hukum itu (maaf) seperti kentut, tidak bisa dilihat dan dibuktikan keberadaannya, akan tetapi dapat tercium baunya…” karenanya jika sudah mencium baunya, maka menurut hemat saya tidak sulit lagi  untuk mengetahui adanya mafia hukum  dalam suatu kasus, jika dalam proses hukum tidak dilaksanakan sesuai dengan hukum acaranya, jika ada kejanggalan-kejanggalan dan bahkan bertentangan dengan akal sehat, maka disitu adanya mafia hukum…


Seperti halnya terhadap kasus yang saya sampaikan ini, seharusnya intitusi hukum terkait tanggap dan segera merespon masukan-masukan dari masyarakat,   akan tetapi nampaknya kita sudah tidak berdaya untuk memperbaiki keadaan yang  sudah sedemikian amburadulnya ini, sehingga hal-hal demikian sudah dianggap lumrah… entahlah, apakah hal seperti ini karena sistim hukumnya yang memang rusak, atau moral aparatnya, atau mungkin  kedua-duanya…
Jika saja ada sanksi yang keras terhadap mereka yang terlibat dalam praktek-praktek mafia hukum dan dapat  memberikan effek jera, mungkin Negeri ini tidak akan separah  seperti sekarang ini… akan tetapi benar seperti yang dikatakan oleh Prof. Sahetapy; “… Kalau ikan sih sudah busuk dari kepalanya, jadi tidak ada yang bisa diharapkan…”
masihkah kita berharap akan adanya kebaikan dari sistim yang sudah sedemikian amburadulnya ini ?
padahal dalam Al-Qur’an, surat Al-Maidah ayat 43 s/d 68 kita sudah diingatkan untuk berhukum hanya  kepada hukum Alloh, akan tetapi kita lupa.. atau mungkin kita termasuk kaum sebagaimana yang dimaksud dalam surat Al-Baqorroh; “… Bagi mereka yang sudah tertutup mata hatinya, maka diingatkan ataupun tidak sama saja…”  Wallohualam,

(tagoni.blogspot.com)


0 komentar:

Posting Komentar